16 Agustus, 2011

Sandy Episode 4


Keesokan harinya, Sandy tidak bekerja karena hari libur untuk buruh souvenir, ia berenang bersama teman-temannya. Saat berenang, tiba-tiba seorang wanita yang sombong mengejek Sandy, Nadine, dan Mistin dengan sombongnya.
“heh rambut pendek, kalian ternyata nggak bisa punya celana renang seperti ini.”
“emang kita pikirin lihat tuh, semua cewek di desa ini hampir 100% rambutnya pendek semua. termasuk kita, dan wanita 25 tahun ini.” Nadine,  Mistin, dan semua teman-temannya kecuali Andra dan Sammy menunjuk telunjuk mereka kearah Sandy. Sandy malah bingung,
“kalian ngapain sih nunjuk-nunjuk aku?”
“SSST…! Tenang, kita cuma gertakin dia.”
“Si rambut ‘Indy Barends’ itu, ya ok…ok…. Kamu mau nantang aku, ya? Bagus itu.” Sandy menelan air ludahnya dan nyaris marah karena dia menyebut salah satu presenter TV terkenal dari Jakarta. Ia memang berpenampilan seperti itu sejak ia berusia 18 tahun, namun ia tak peduli dengan penampilannya, maupun wanita itu.
“Baiklah, tantangannya adalah berenang sampai di pulau itu.” Semua teman-temannya kaget mendengar hal itu.
“Sandy, kamu  becanda, ‘kan?”
“ Aku serius, believe me Sammy, biarpun muka dan perutmu mirip si Indra Bekti, bagiku kamu adikku.” Balas Sandy sambil mencubit perutnya.
“ADUH! Sakit.” Sammy hanya diam saja mendengar perkataan itu.
“Kapan kita melakukannya ‘Indy Barends’?”
“besok, kurang lebih jam setengah satu siang.”
Saturday, ya… OK! Sekarang bubar semuanya.”
Sandy cs langsung membubarkan diri. Keesokan harinya mereka bersiap-siap.
“Andra, Sandy kemana?” tanya Aji dengan perasaan cemas.
“HEI!! Aku disini.”
“Sandy, loh…! kok kamu cuma pake jubahnya kak Mario? Nggak punya pakaian renang? Atau telanjang kali!?”
“HUS!! Johnny Antonio, kamu ini memang sok genit, ya. Aku memang memakainya tapi sengaja nggak ditunjukkan.” Beberapa menit kemudian wanita yang kemarin menggangunya datang dan berkenalan dengan Sandy.
“Sheila Hernasari.”
“Sandy Cylista.”
“jadi namamu begitu, ya?” gumam Sheila Lalu Sandy membuka jubahnya, ia seperti ingin snorkeling dengan kaos biru, celana pendek ketat dengan sepatu katak dan alat snorkeling itu. Semuanya tertawa, termasuk Sammy.
“tau nggak sih, dia itu lebih lucu ketimbang Tukul Arwana.” Sandy agak tersipu-sipu dan kerepotan berjalan di pasir.
Andra sebagai wasit memberi aba-aba pertanda memulai pertandingan dengan melemparkan peluru ketapel kearah buah kelapa yang sedang berbuah lebat. Andra sendiri tidak tahu kalau ada Fadly di bawah pohon kelapa itu dan BUKK!!!. Alhasil, buah kelapa itu malah jatuh menimpa kepalanya Aji dan BLAKKK!!!, juga memantul mengenai telapak kaki John, lalu John berteriak.
“ADUUUUUUUUUHHHH!!!!!!!!” mendengar suara itu, Sandy dan Sheila melompat ke lautan pendukung Sandy maupun Sheila berteriak dengan suara lantang.
“SANDY…SANDY…SANDY!!!!!”
“SHEILA…SHEILA…SHEILA!!!.” Sementara itu, Ibu Ratih sedang mengadakan arisan remaja. Saat itu, mereka melihat semua warga mendukung Sandy dan Sheila.
“ada apa ini, Andra?!”
“saya bisa jelaskan, Bu.”
Setelah dijelaskan, barulah Ibu Ratih mengerti bahwa Sandy tidak terima kalau Sheila menganggap dirinya sok pahlawan.
“maaf Andra, Sammy, sebetulnya Sheila sepupunya si Aji, dia sedang liburan sekolahnya, sehari-harinya dia suka nyombongin diri, dia orang kaya dari Jakarta ayahnya itu diplomat dan…”
 Sementara itu, Sandy sudah mencapai pulau seberang dan menuju kembali ke desanya. Saat tiba, ia lupa dengan Sheila, lalu ia mencari Sheila. Andra tiba-tiba mendatangi Sandy.
“Sandy! Sheila itu, sebetulnya hanya bisa berenang sampai 25 meter dari sini.”
Mendengar hal itu, Sandy mengambil papan surfing  milik Aji yang masih tidak sadarkan diri, lalu ia kerumahnya mengambil dua buah pedang seukuran pisau biasa kalau-kalau terjadi apa-apa dengan Sheila ataupun dirinya sendiri.
Sandy berenang kembali dan melihat Sheila berusaha menghindari jeratan gurita. Melihat hal itu, Sandy pun menyelam dan memotong tentakel-tentakel gurita yang menjerat kaki Sheila. Lalu ia membantu Sheila naik ke papan surfing. Lalu Shelia dibawa ke tepi pantai dan diselamatkan, Sheila sadar atas kesalahannya.
“Sandy, aku minta maaf ya, karena membuat kamu nyaris marah. Gue sebenarnya ingin cari perhatian orang-orang disini kok.”
“nggak apa-apa. Terima kasih sudah datang kesini.”
“harusnya aku yang bilang begitu, Sandy. Setiap tahun aku kesini.”
“kamu nggak boleh pulang ke Jakarta kalau nggak bawa cinderamata dari desa ini.”
“‘ya iyalah masa ya iya dong, kelapa ya dibelah masa dibedong’,” mendengar kata itu, John cekikikan sendiri.
“gue kan saat SD sudah membeli cinderamata yang bentuknya selalu unik, seperti gantungan kunci, hiasan dinding, gantungan tirai…”
“kalau gantungan tirai, itu aku yang buat.”
really, Sandy?”
true, Sheila.”
“pantes my friends banyak yang selalu mesan di akhir juni ini, tahu-tahu, kamu yang buat. Habis, bagus sih warna, bentuk, memasangnya dan enak dilihat dari luar kamar.”
“memang usia kamu berapa sih, Sheila?”
“14 tahun.”
“HAAAAH!!!!???”
Semua kaget kecuali Fadly dan Derry. Mendengar teriakan Sandy cs, Aji terbangun dan kaget.
“WAAAKS! Ada maling dimana, Sandy? Dimana?”
“nggak ada, bego! Cuma kamunya yang nggak tau apa-apa.”
“UUUH!! nyebelin, muka kamu digantengin tapi otak kamu kayak aki-aki.” Tambah John.
Melihat Aji gelagapan dikira maling, Fadly, Sammy, dan Derry tertawa, begitu juga Sandy, Andra dan yang lainnya. Dan merekapun bergembira bersama.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar