12 Januari, 2013

A Journey Of TMZI : 5. Hari Kedua


Keesokan paginya saat aku sedang menelepon keluargaku…
 “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.” Suara operator selular.
Akupun terus mencoba dan mencoba, tapi tetap saja sia-sia. Namun, tiba-tiba seseorang menyodorkan ponsel yang ternyata Khalil.
“Pake HP-ku aja…HP butut begitu mana bisa nelpon…” kata Khalil menyodorkan ponselnya yang sebenarnya juga sama seperti aku.
“Makasih…” kataku sambil menggunakan ponsel Khalil.
Beberapa menit setelah aku menelepon keluargaku, akupun kembali ke Camp dan mengambil sesuatu di ranselku. Saat aku ingin mencari Amir di kamar lelaki, tidak ada siapa-siapa kecuali Axel yang kebingungan karena mi instan yang ia siapkan habis. Karena merasa kasihan, akupun menyodorkan nasi bungkus yang tadinya ingin aku makan sendiri pada Axel.
“Nih, makan punyaku saja. Aku bisa mancing ikan sendiri.” Kataku menyodorkan nasi bungkus pada Axel. Namun Axel menolaknya.
“Nggak usah…” tolak Axel halus.
“Kamu yang lebih membutuhkan ini daripada aku. Aku bisa nggak makan…” kataku memaksa.
“Tapi aku kasian dengan kamu…” kata Axel tetap menolak.
“Udah, makan punyaku saja.” Kataku terus memaksa.
Mendengar kami ribut lagi, Panji tiba-tiba datang dan melerai kami.
“Axel benar Dila, lebih baik kamu yang makan aja.” Kata Panji membela Axel.
“Nggak usah, aku bisa mancing sendiri dan makan ikan sendiri.” Kataku pergi meninggalkan makanan yang aku taruh di pagar. Axel dan Panji hanya bisa diam melihatku. Lalu Khalil dan Septian datang.
“Kenapa Axel?” tanya Septian.
“Kalian ribut lagi?” tanya Khalil menambahkan.
“Dila, dia nggak mau makanan yang diberikan panitia padanya.” Jelas Axel pada Khalil dan Septian.
“Aku juga, karena aku khawatir kalau sampai ia pingsan di tengah laut gara-gara tidak makan.” Tambah Panji.
Tiba-tiba…
“Kak PANJI!!!” teriak Ismi, Pandu, Dina, Haekal, Arla, dan Dwi bersamaan.
“Ismi, Pandu, Dina, Haekal, Arla, Dwi, ada apa?” tanya Panji.
“Di…Dila….Kak Panji…” kata Haekal dan Dwi terbata-bata.
“Kenapa?” tanya Axel dan Panji.
Setelah menceritakan hal itu, Axel dan Panji bergegas ke pantai dan memecah kerumunan.
“Bener apa yang aku khawatirkan.” Kata Axel duduk di sampingku yang tak sadarkan diri.
“Aku juga Axel.” Kata Panji sambil memberikan napas buatan untukku. Akupun sadar dan melihat di sekelilingku sudah ramai.
“Bilang sesuatu…” kata Panji padaku.
“Kak Panji, aku nggak apa-apa.” Bantahku.
“Nggak apa-apa apanya? Kamu itu nggak peduli badan kamu lemah begitu.” Kata Axel mengkhawatirkanku. Aku hanya terdiam.
“Itulah kenapa aku menolak apa yang kamu berikan tadi. Nah sekarang jadinya begini ‘kan?” kata Axel menambahkan.
“Itu karena aku tak ingin orang lain yang menderita karena apapun. Karena aku lebih baik yang lebih menderita dari temannya sendiri.” Kataku terus membela diriku.
Mendengar perkataan itu, semua terdiam. Termasuk Axel dan Khalil. Lalu kemudian Axel bicara.
“Tapi itu karena aku ingat temanku yang perempuan, yang dulu pernah menolongku di kejadian yang kayak begini.” Kata Axel semakin khawatir.
“Benarkah itu?” tanyaku.
“Dan sekarang dia sudah meninggal karena kejadian yang kayak begini. Apa mau kamu mengabaikan kondisi kamu kalo udah begini?” katanya sambil mengangguk. Aku tertunduk diam merenungkan itu semua. Lalu Axel memelukku dengan erat. Entah kenapa air mataku refleks mengalir dengan deras.
“Aku dan teman-teman lain nggak mau kamu mati. Tolong…” kata Axel memohon.
“Baiklah, akan aku ikuti apa maumu…” kataku.
“Sudahlah, ayo makan dulu…” kata Axel sambil menghapus air mataku.
Lalu kami semua makan bersama, namun aku dan Radifan curiga dengan seseorang yang memakai jaket hitam bersama pengawalnya di tempat Camp panitia.
“Ada apa?” tanya Axel didepanku.
“Tidak, tidak ada apa-apa.” kataku menutupi kecurigaan itu.
“Kenapa? Ada sesuatu?” Tanya Axel melihat ke arah aku melihat.
Lalu aku mengalihkan perhatian Axel dengan menginjak kakinya di bawah meja makan.
“AAAAGGH!! Kakiku…., yang kamu injek itu ada luka bekas jahitan tau!!” omel Axel meringis.
“Dila, kamu ini kenapa setiap kali ketemu Axel selalu aja ada ulah kalian yang bikin heboh semua yang ikut Jambore?” tanya Panji heran.
“Maaf kak Panji, takut pikirannya kosong.” Kataku berdalih. Mendengar aku berkata seperti itu, Axel hanya nyengir kuda.
Lalu Panji melanjutkan kegiatan Jambore dengan landak laut yang ia pegang.
“Ini, kalo kena durinya. Pertolongan pertama yang harus diberikan pada bagian yang tertusuk duri adalah disirami air amonia.” Jelas Panji.
“Air amonia itu bisa kita dapatkan dari mana?” tanya Radifan dan Pandu.
He…he…Dari urine kalian sendiri…” jawab Panji agak menyindir.
“Hiiiii…. Jorok!!” seru kami semua.                                                                    
“Meski begitu, tapi efektif untuk mengeluarkan durinya…” tambah Panji.
“Apa bagian dalam landak laut bisa dimakan.” Tanyaku ingin tahu.
“Bener tuh. Bisa dimakan, tapi durinya harus dibuang dulu…” jawab Panji membenarkan.
“Gimana caranya?” tanya Peni dan Yasinta.
“Kalian harus jaga jarak antara kita dan landak lautnya. Terus pukul-pukul pakai tongkat kayu yang kalian ambil di sekitar kalian. Setelah semuanya sudah tidak ada lagi duri-durinya. Baru kalian belah dan ambil daging yang ada didalam landak laut tersebut.” Jelas Panji agak panjang.
“Apa nutrisinya sama dengan nutrisi ikan?” tanya Axel dan Arla.
“Kurang lebih sama saja.” Jawab Panji mengira-ngira.
2 jam setelah penjelasan, semua peserta Jambore beraktifitas seperti biasa. Aku duduk sendirian sambil melihat karang yang terlihat dari atas dermaga. Axel yang mengejutkanku muncul dan mengajakku berenang. Karena aku juga ingin berenang, akupun akhirnya menerima ajakan itu. Lalu kamipun berenang bersama. Axel melihat keindahan karang yang begitu mempesona meski tidak memakai peralatan apapun untuk menyelam kedalam air kecuali kacamatanya sendiri yang sengaja diikat.
“Karangnya bagus sekali…rasanya seperti melihat sebuah taman bunga, tapi didalam laut.” Katanya sambil berenang.
“Kalo mau yang lebih bagus ada di tengah laut. Tapi aku nggak mau ambil resiko. Dan disana lebih berbahaya.” Tambahku.
“Iya, sangat berbahaya…mungkin suatu saat kita bisa melihatnya bersama.” Katanya mendekatiku sambil memegang tanganku.
“Axel!” sahutku.
“Ok! Aku lepasin…” katanya sambil melepaskan tanganku.
Tanpa kami sadari, Khalil melihat kami berdua dari semak-semak.
“Mereka semakin hari semakin membuatku penasaran. Apa mereka pacaran atau cuma berteman biasa?” gumamnya.
“Kamu ngapain disini, Khalil Satyadama!!” seru Yasinta dan Fisha mengejutkan Khalil.
“Aduh!!” kaget Khalil.
Mendengar Khalil yang kaget. Axel dan aku berbalik melihat ke tepi.
“Ada apa? Khalil?” tanya Axel.
Khalil hanya terdiam mendengar Axel bertanya seperti itu.
“Ikut kita berenang aja! Daripada kamu yang malu-malu!!” ajakku dan Axel.
“Eh? Iya? OK!! Aku ikut!!” kata Khalil mengikuti kami diikuti peserta Jambore lainnya. Kami saling bercanda dan bermain di pantai pada saat itu juga.
“Anak-anak…” kata Panji dari atas pohon.
“Senang rasanya melihat mereka seceria ini.” tambah Yasuhiro dari atas pohon.
Karena tidak kuat menahan berat badan mereka. Akhirnya mereka juga terjatuh dari atas pohon. Kami hanya cekikikan melihat kejadian itu.
“Daripada kak Panji dan Yasuhiro berteduh di pohon, mending ikut kami main saja.” Ajak Arla dan Haekal.
“Eh, boleh?” tanya Panji.
“Siapa yang melarang?” tambah Axel.
“OK…” lalu Kak Panji membuka sepatunya, berlari dari dermaga dan terjun ke laut.
Disaat itulah, kami senang dapat berbagi keceriaan dengan semua orang di Jambore. Dan keceriaanku hilang saat ada seseorang yang menguntit kami dari semak-semak. Aku semakin hari semakin curiga dengan orang tersebut. Apa yang diincarnya? Pikirku. Namun saat aku dikejutkan Axel, aku menutupi kecurigaan itu dengan bermain domino orang yang diurutkan dari ujung Camp sampai di ujung dermaga. Saat Dwi mendorong Amir, Amir terjatuh disusul Radifan, Hadi, Haekal, Fisha, Dha, Monica, Yasuhiro, Aulil, Alif, dan seterusnya hingga pada akhirnya aku mendorong Axel terjatuh ke lautan dengan cara seperti domino yang jatuh.
“Gimana Axel?”
“Seru, ditambah ada permainan domino yang aku suka.”
“eh, ini udah jam 4 sore. Semua segera siap-siap nonton film jam 19.00 nanti.”
“Eh iya, nggak terasa ya… yuk cepat-cepat ganti baju.”
Jam 19.00 saat semua peserta Jambore sedang menonton film melalui layar tancap, kami menonton Film Misteri Rumah Hantu. Saking asyiknya menonton film, ada saja kejadian yang kadang bikin semuanya tertawa. Termasuk Khalil, Pandu, dan Haekal yang langsung lari ke Camp karena tidak mau nonton film horor. Radifan dan Amir hanya diam sambil makan kacang rebus yang disediakan panitia.
“Siapa?” seru aktor dari dalam film.
Lalu muncul sesosok kuntilanak menghampirinya dari belakang. Melihat adegan tersebut, tanpa sadar aku memeluk Axel yang juga sebenarnya agak merinding dengan film tersebut.
“Dila, ini bukan bioskop…” omel Panji di sebelahku.
“Maaf…” kataku yang malu sambil melepas pelukanku dari Axel.
“Nggak apa-apa, Dil. Kau boleh memelukku kapan saja.” Ucap Axel tiba-tiba.
“Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Eh bukan, maksudku…tolong singkirkan sampah kacang kulit dari tempat aku duduk.” Ujar Axel sambil mengomel pada orang yang makan kacang rebus. Mendengar omelan Axel, Radifan dan Amir langsung berhenti makan makanan tersebut.
Setelah film selesai diputar, tiba-tiba Yasuhiro memanggil Panji ke Camp pusat. Awalnya aku curiga dengan apa yang dilakukan Yasuhiro, namun aku harus bergegas kembali ke Camp. Sayangnya, kamar Camp Wanita mengalami kebocoran karena sedang hujan deras. Dan mau tidak mau, beberapa diantara kami harus berada di Camp lelaki untuk sementara waktu, termasuk aku dan Yasinta yang tepat dibawah tempat tidur Axel yang pada saat itu sibuk dengan proyek gambar anime OC-nya, Axlym. Sambil menonton Tv dan menemani Yasinta tertidur lelap, aku juga melanjutkan gambaranku yang sempat terhenti. Lalu tiba-tiba…
“BERITA MALAM HARI INI, Sekelompok Komplotan para bajak laut baru saja kabur dari tahanan dari sebuah kantor Polisi. Hal ini diperkuat adanya bekas melarikan diri yang dapat terlihat dari atap sel tahanan. Anda harus segera waspada jika melihat komplotan tersebut.”
“Berita Teroris semakin merajalela.” Kata Axel.
“belakangan mereka sering merampok bank dan meneror untuk kepentingan mereka.” Tambahku dengan Topi Angry Birds di kepala.
“kamu benar, Dil.” Jawab Axel.
Jam menunjukkan pukul 22.00. Aku harus mematikan lampu dan segera tidur, tetapi…
“Dil…” panggil Axel tanpa kacamata di kasurnya.
“Iya? Axel? Ada apa?” balasku.
“Kamu masih belum bisa tidur?” tanya Axel.
“Kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu mengganjal?” Kataku berbalik bertanya pada Axel.
“Aku khawatir dengan sesuatu hal yang mungkin terjadi disini. Apa kamu juga berpikiran begitu?” ujar Axel.
“Aku…Axel?” begitu melihat Axel, dia langsung tertidur pulas seperti tak memiliki beban apapun.
“Axel…Axel….dasar Axel Aeniv Lymphos…” gerutuku sambil menarik selimutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar