Keesokan paginya saat aku sedang menelepon keluargaku…
“Maaf, nomor yang
anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.” Suara operator
selular.
Akupun terus mencoba dan mencoba, tapi tetap saja
sia-sia. Namun, tiba-tiba seseorang menyodorkan ponsel yang ternyata Khalil.
“Pake HP-ku aja…HP butut begitu mana bisa nelpon…” kata
Khalil menyodorkan ponselnya yang sebenarnya juga sama seperti aku.
“Makasih…” kataku sambil menggunakan ponsel Khalil.
Beberapa menit setelah aku menelepon keluargaku, akupun
kembali ke Camp dan mengambil sesuatu di ranselku. Saat aku ingin mencari Amir
di kamar lelaki, tidak ada siapa-siapa kecuali Axel yang kebingungan karena mi
instan yang ia siapkan habis. Karena merasa kasihan, akupun menyodorkan nasi
bungkus yang tadinya ingin aku makan sendiri pada Axel.
“Nih, makan punyaku saja. Aku bisa mancing ikan sendiri.”
Kataku menyodorkan nasi bungkus pada Axel. Namun Axel menolaknya.
“Nggak usah…” tolak Axel halus.
“Kamu yang lebih membutuhkan ini daripada aku. Aku bisa
nggak makan…” kataku memaksa.
“Tapi aku kasian dengan kamu…” kata Axel tetap menolak.
“Udah, makan punyaku saja.” Kataku terus memaksa.
Mendengar kami ribut lagi, Panji tiba-tiba datang dan
melerai kami.
“Axel benar Dila, lebih baik kamu yang makan aja.” Kata
Panji membela Axel.
“Nggak usah, aku bisa mancing sendiri dan makan ikan
sendiri.” Kataku pergi meninggalkan makanan yang aku taruh di pagar. Axel dan
Panji hanya bisa diam melihatku. Lalu Khalil dan Septian datang.
“Kenapa Axel?” tanya Septian.
“Kalian ribut lagi?” tanya Khalil menambahkan.
“Dila, dia nggak mau makanan yang diberikan panitia
padanya.” Jelas Axel pada Khalil dan Septian.
“Aku juga, karena aku khawatir kalau sampai ia pingsan di
tengah laut gara-gara tidak makan.” Tambah Panji.
Tiba-tiba…
“Kak PANJI!!!” teriak Ismi, Pandu, Dina, Haekal, Arla,
dan Dwi bersamaan.
“Ismi, Pandu, Dina, Haekal, Arla, Dwi, ada apa?” tanya
Panji.
“Di…Dila….Kak Panji…” kata Haekal dan Dwi terbata-bata.
“Kenapa?” tanya Axel dan Panji.
Setelah menceritakan hal itu, Axel dan Panji bergegas ke
pantai dan memecah kerumunan.
“Bener apa yang aku khawatirkan.” Kata Axel duduk di
sampingku yang tak sadarkan diri.
“Aku juga Axel.” Kata Panji sambil memberikan napas buatan untukku. Akupun sadar dan melihat di
sekelilingku sudah ramai.
“Bilang sesuatu…” kata Panji padaku.
“Kak Panji, aku nggak apa-apa.” Bantahku.
“Nggak apa-apa apanya? Kamu itu nggak peduli badan kamu
lemah begitu.” Kata Axel mengkhawatirkanku. Aku hanya terdiam.
“Itulah kenapa aku menolak apa yang kamu berikan tadi.
Nah sekarang jadinya begini ‘kan?” kata Axel menambahkan.
“Itu karena aku tak ingin orang lain yang menderita
karena apapun. Karena aku lebih baik yang lebih menderita dari temannya
sendiri.” Kataku terus membela diriku.
Mendengar perkataan itu, semua terdiam. Termasuk Axel dan
Khalil. Lalu kemudian Axel bicara.
“Tapi itu karena aku ingat temanku yang perempuan, yang
dulu pernah menolongku di kejadian yang kayak begini.” Kata Axel semakin
khawatir.
“Benarkah itu?” tanyaku.
“Dan sekarang dia sudah meninggal karena kejadian yang
kayak begini. Apa mau kamu mengabaikan kondisi kamu kalo udah begini?” katanya
sambil mengangguk. Aku tertunduk diam merenungkan itu semua. Lalu Axel
memelukku dengan erat. Entah kenapa air mataku refleks mengalir dengan deras.
“Aku dan teman-teman lain nggak mau kamu mati. Tolong…”
kata Axel memohon.
“Baiklah, akan aku ikuti apa maumu…” kataku.
“Sudahlah, ayo makan dulu…” kata Axel sambil menghapus
air mataku.
Lalu kami semua makan bersama, namun aku dan Radifan
curiga dengan seseorang yang memakai jaket hitam bersama pengawalnya di tempat
Camp panitia.
“Ada apa?” tanya Axel didepanku.
“Tidak, tidak ada apa-apa.” kataku menutupi kecurigaan
itu.
“Kenapa? Ada sesuatu?” Tanya Axel melihat ke arah aku
melihat.
Lalu aku mengalihkan perhatian Axel dengan menginjak
kakinya di bawah meja makan.
“AAAAGGH!! Kakiku…., yang kamu injek itu ada luka bekas
jahitan tau!!” omel Axel meringis.
“Dila, kamu ini kenapa setiap kali ketemu Axel selalu aja
ada ulah kalian yang bikin heboh semua yang ikut Jambore?” tanya Panji heran.
“Maaf kak Panji, takut pikirannya kosong.” Kataku
berdalih. Mendengar aku berkata seperti itu, Axel hanya nyengir kuda.
Lalu Panji melanjutkan kegiatan Jambore dengan landak
laut yang ia pegang.
“Ini, kalo kena durinya. Pertolongan pertama yang harus
diberikan pada bagian yang tertusuk duri adalah disirami air amonia.” Jelas
Panji.
“Air amonia itu bisa kita dapatkan dari mana?” tanya
Radifan dan Pandu.
“He…he…Dari urine kalian sendiri…” jawab Panji agak menyindir.
“Hiiiii…. Jorok!!” seru kami semua.
“Meski begitu, tapi efektif untuk mengeluarkan durinya…”
tambah Panji.
“Apa bagian dalam landak laut bisa dimakan.” Tanyaku
ingin tahu.
“Bener tuh. Bisa dimakan, tapi durinya harus dibuang
dulu…” jawab Panji membenarkan.
“Gimana caranya?” tanya Peni dan Yasinta.
“Kalian harus jaga jarak antara kita dan landak lautnya.
Terus pukul-pukul pakai tongkat kayu yang kalian ambil di sekitar kalian. Setelah semuanya sudah tidak ada lagi duri-durinya. Baru kalian belah dan
ambil daging yang ada didalam landak laut tersebut.” Jelas Panji agak panjang.
“Apa nutrisinya sama dengan nutrisi ikan?” tanya Axel dan
Arla.
“Kurang lebih sama saja.” Jawab Panji mengira-ngira.
2 jam setelah penjelasan, semua peserta Jambore
beraktifitas seperti biasa. Aku duduk sendirian sambil melihat karang yang
terlihat dari atas dermaga. Axel yang mengejutkanku muncul dan
mengajakku berenang. Karena aku juga ingin berenang, akupun akhirnya menerima
ajakan itu. Lalu kamipun berenang bersama. Axel melihat keindahan karang yang begitu mempesona meski
tidak memakai peralatan apapun untuk menyelam kedalam air kecuali kacamatanya
sendiri yang sengaja diikat.
“Karangnya bagus sekali…rasanya seperti melihat sebuah
taman bunga, tapi didalam laut.” Katanya sambil berenang.
“Kalo mau yang lebih bagus ada di tengah laut. Tapi aku
nggak mau ambil resiko. Dan disana lebih berbahaya.” Tambahku.
“Iya, sangat berbahaya…mungkin suatu saat kita bisa
melihatnya bersama.” Katanya mendekatiku sambil memegang tanganku.
“Axel!” sahutku.
“Ok! Aku lepasin…” katanya sambil melepaskan tanganku.
Tanpa kami sadari, Khalil melihat kami berdua dari
semak-semak.
“Mereka semakin hari semakin membuatku penasaran. Apa
mereka pacaran atau cuma berteman biasa?” gumamnya.
“Kamu ngapain disini, Khalil Satyadama!!” seru Yasinta
dan Fisha mengejutkan Khalil.
“Aduh!!” kaget Khalil.
Mendengar Khalil yang kaget. Axel dan aku berbalik
melihat ke tepi.
“Ada apa? Khalil?” tanya Axel.
Khalil hanya terdiam mendengar Axel bertanya seperti itu.
“Ikut kita berenang aja! Daripada kamu yang malu-malu!!”
ajakku dan Axel.
“Eh? Iya? OK!! Aku ikut!!” kata Khalil mengikuti kami
diikuti peserta Jambore lainnya. Kami saling bercanda dan bermain di pantai
pada saat itu juga.
“Anak-anak…” kata Panji dari atas pohon.
“Senang rasanya melihat mereka seceria ini.” tambah
Yasuhiro dari atas pohon.
Karena tidak kuat menahan berat badan mereka. Akhirnya
mereka juga terjatuh dari atas pohon. Kami hanya cekikikan melihat kejadian
itu.
“Daripada kak Panji dan Yasuhiro berteduh di pohon,
mending ikut kami main saja.” Ajak Arla dan Haekal.
“Eh, boleh?” tanya Panji.
“Siapa yang melarang?” tambah Axel.
“OK…” lalu Kak Panji membuka sepatunya, berlari dari
dermaga dan terjun ke laut.
Disaat itulah, kami senang dapat berbagi keceriaan dengan
semua orang di Jambore. Dan keceriaanku hilang saat ada seseorang yang
menguntit kami dari semak-semak. Aku semakin hari semakin curiga dengan orang
tersebut. Apa yang diincarnya? Pikirku. Namun saat aku dikejutkan Axel, aku
menutupi kecurigaan itu dengan bermain domino orang yang diurutkan dari ujung
Camp sampai di ujung dermaga. Saat Dwi mendorong Amir, Amir terjatuh disusul
Radifan, Hadi, Haekal, Fisha, Dha, Monica, Yasuhiro, Aulil, Alif, dan
seterusnya hingga pada akhirnya aku mendorong Axel terjatuh ke lautan dengan
cara seperti domino yang jatuh.
“Gimana Axel?”
“Seru, ditambah ada permainan domino yang aku suka.”
“eh, ini udah jam 4 sore. Semua segera siap-siap nonton
film jam 19.00 nanti.”
“Eh iya, nggak terasa ya… yuk cepat-cepat ganti baju.”
Jam 19.00 saat semua peserta Jambore sedang menonton film
melalui layar tancap, kami menonton Film Misteri Rumah Hantu. Saking asyiknya
menonton film, ada saja kejadian yang kadang bikin semuanya tertawa. Termasuk
Khalil, Pandu, dan Haekal yang langsung lari ke Camp karena tidak mau nonton
film horor. Radifan dan Amir hanya diam sambil makan kacang rebus yang
disediakan panitia.
“Siapa?” seru aktor dari dalam film.
Lalu muncul sesosok kuntilanak menghampirinya dari
belakang. Melihat adegan tersebut, tanpa sadar aku memeluk Axel yang juga
sebenarnya agak merinding dengan film tersebut.
“Dila, ini bukan bioskop…” omel Panji di sebelahku.
“Maaf…” kataku yang malu sambil melepas pelukanku dari
Axel.
“Nggak apa-apa, Dil. Kau boleh memelukku kapan saja.”
Ucap Axel tiba-tiba.
“Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Eh bukan, maksudku…tolong singkirkan sampah kacang kulit
dari tempat aku duduk.” Ujar Axel sambil mengomel pada orang yang makan kacang
rebus. Mendengar omelan Axel, Radifan dan Amir langsung berhenti makan makanan
tersebut.
Setelah film selesai diputar, tiba-tiba Yasuhiro
memanggil Panji ke Camp pusat. Awalnya aku curiga dengan apa yang dilakukan
Yasuhiro, namun aku harus bergegas kembali ke Camp. Sayangnya, kamar Camp
Wanita mengalami kebocoran karena sedang hujan deras. Dan mau tidak mau,
beberapa diantara kami harus berada di Camp lelaki untuk sementara waktu,
termasuk aku dan Yasinta yang tepat dibawah tempat tidur Axel yang pada saat
itu sibuk dengan proyek gambar anime OC-nya, Axlym. Sambil menonton Tv
dan menemani Yasinta tertidur lelap, aku
juga melanjutkan gambaranku yang sempat terhenti. Lalu tiba-tiba…
“BERITA MALAM HARI INI, Sekelompok Komplotan para bajak
laut baru saja kabur dari tahanan dari sebuah kantor Polisi. Hal ini diperkuat
adanya bekas melarikan diri yang dapat terlihat dari atap sel tahanan. Anda
harus segera waspada jika melihat komplotan tersebut.”
“Berita Teroris semakin merajalela.” Kata Axel.
“belakangan mereka sering merampok bank dan meneror untuk
kepentingan mereka.” Tambahku dengan Topi Angry Birds di kepala.
“kamu benar, Dil.” Jawab Axel.
Jam menunjukkan pukul 22.00. Aku harus mematikan lampu
dan segera tidur, tetapi…
“Dil…” panggil Axel tanpa kacamata di kasurnya.
“Iya? Axel? Ada apa?” balasku.
“Kamu masih belum bisa tidur?” tanya Axel.
“Kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu mengganjal?” Kataku
berbalik bertanya pada Axel.
“Aku khawatir dengan sesuatu hal yang mungkin terjadi
disini. Apa kamu juga berpikiran begitu?” ujar Axel.
“Aku…Axel?” begitu melihat Axel, dia langsung tertidur
pulas seperti tak memiliki beban apapun.
“Axel…Axel….dasar Axel Aeniv Lymphos…” gerutuku sambil
menarik selimutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar